Integrasi Nasional Melalui Komunikasi Antar Budaya

10.46






Oleh:
Muhammad Wahyu Fajar
30.07.1.1.008

JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SURAKARTA
2009


BAB I

PENDAHULUAN

Para ahli antropologi berusaha untuk memahami budaya dengan melakukan penelitian lapangan dan menulis etnografi. Melalui cara kerja yang dilakukan para antropolog tersebut diharapkan sebuah budaya akan dapat dideskripsikan dengan detail, komplet dan akurat.


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang penduduknya berjumlah 220 juta orang, 565 suka bangsa, 17.508 kepulauan, dan luas wilayah 5.800.000 km2, serta dengan letak yang strategis di antara negara-negara di dunia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Baik dari segi suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Kondisi sosial masyarakat Indonesia itu pula yang cenderung mempermudah munculnya disentegrasi nasional. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah “desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi – situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya.

Adapun dalam berdakwah dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dakwah dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku Dakwah dan pada gilirannya Dakwah pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.

Pada prinsipnya, di pembahasan kali ini, dakwah merupakan istilah yang disamakan dengan komunikasi. Sehingga akan mudah bisa dipahami apabila kita menyamakan arti dakwah dengan komunikasi. Di berbagai sumber menegaskan bahwa inti dari dakwah adalah komunikasi. Lalu, Bagaimana peran Dakwah antar budaya dalam integrasi nasional dan apa Tujuan untuk mengetahui peran Dakwah antar budaya dalam integrasi nasional.

BAB II

PEMBAHASAN

TEORI KOMUNIKASI BUDAYA

Pada pertengahan tahun 1970, dua orang antropolog, Edwin Ardener (1975) seorang antropologis sosial dari Oxford University dan Shirley Ardener sebagai rekan kerjanya menunjukkan minat untuk melihat cara kerja para antropolog budaya tersebut di lapangan. Mereka melihat bahwa ternyata para antropolog melakukan penelitiannya dengan lebih banyak berbicara dan bertanya kepada kalangan laki-laki dewasa pada suatu budaya tertentu untuk kemudian mencatatnya dalam etnografi sebagai gambaran budaya secara keseluruhan. Sehingga tidak seluruh porsi dari deskripsi budaya tersebut, seperti perempuan, anak-anak, dan posisi dari pihak yang tak berdaya lainnya, disajikan sebagai bagian dari cerita budaya tesebut.

Edwin Ardener dalam monografinya, “Kepercayaan dan Problem Perempuan” mengemukakan kecenderungan aneh di kalangan etnografer yang mengklaim harus “meretakkan kode” dari sebuah budaya tanpa membuat referensi langsung pada setengah masyarakat yang terdiri dari kalangan perempuan. Para peneliti lapangan seringkali membenarkan kelalaian tersebut dengan melaporkan bahwa sulitnya menggunakan perempuan sebagai informan budayanya. Menurut mereka, perempuan muda terkikih-kikih, perempuan tua mendengus, mereka menolak pertanyaan dan menertawakannya, secara umum hal tersebut menyulitkan para peneliti yang dididik dalam metode penelitian saintifik yang maskulin. Hal ini disebabkan karena bahasa yang digunakan oleh perempuan bersifat rapport talk, yaitu cenderung berbicara untuk membangun keakraban dan membutuhkan penerimaan orang lain dalam berbahasa, sehingga bagi para etnografer itu menyulitkan mereka, sedangkan bahasa yang digunakan oleh laki-laki lebih bersifat report talk, yang cenderung hanya untuk memberikan penjelasan dan tidak dalam rangka membangun keakraban, dan hal ini justru memudahkan etnografer untuk memperoleh banyak penjelasan dari kalangan laki-laki.

Ardener awalnya berasumsi bahwa kurangnya perhatian terhadap pengalaman perempuan adalah sebuah masalah gender yang unik pada antropologi sosial. Tetapi hal ini kemudian ditelusuri lebih lanjut oleh rekan kerjanya, Shirley Ardener, yang menyadari bahwa kebungkaman kelompok yang kurang kekuasaan menimpa kelompok-kelompok yang menempati tempat yang paling akhir dari tingkatan masyarakat. Orang-orang yang hanya memiliki kekuasaan yang rendah bermasalah dengan persoalan menyuarakan persepsi-persepsi mereka. Ardener mengatakan bahwa struktur kebungkaman mereka ‘ada’ tetapi tidak bisa dicapai dari struktur bahasa dominan. Hasilnya adalah mereka dipandang rendah, diredam, dan dibuat tak tampak, sebagaimana “lubang hitam” belaka dalam alam orang lain.

Edwin Ardener membuktikan bahwa fenomena ini memiliki dua segi. Pertama, para peneliti antropologi (yang biasanya orang kulit putih) tidak mendengarkan suara-suara dari kalangan yang tidak berdaya (powerless), karena mereka biasa menyimak dari kalangan laki-laki dan mendengarkan bahasa laki-laki, mereka tidak mencari atau memahami suara-suara dari kalangan perempuan dalam proses penelitiannya. Perempuan dalam hal ini dipandang sebagai pihak yang sukar berbicara oleh para peneliti, dan Edwin Ardener menyatakan bahwa “jika laki-laki menampilkan ‘pandai berbicara’ dibandingkan dengan perempuan, ini adalah sebuah kasus dari yang suka berbicara kepada yang suka”. Kedua, melampaui ketulian ini dari pihak laki-laki, kalangan perempuan “dibungkam” selama penelitian. Shirley Ardener melihat proses ini sebagai kejadian overtime: “Kata-kata yang secara kontinyu menyerang telinga yang tuli, tentu, akhirnya menjadi tidak diucapkan. Siklus ketulian dan kebisuan ini dipergunakan sebagai basis untuk teori kelompok yang dibungkam. Melalui pengamatan yang mendalam oleh Ardener, tampaklah bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang inheren di dalamnya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas dan dibungkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.

Teori kelompok yang dibungkam ini kemudian dikembangkan secara lebih lengkap oleh Cheris Kramarae dan koleganya. Kramarae adalah profesor speech communication dan sosiolog di Universitas Illinois. Dia juga profesor tamu di Pusat Studi Perempuan (Center for the Study of Women) di Universitas Oregon, dan baru-baru ini sebagai dekan di Universitas Perempuan Internasional (the International Woman’s University) di Jerman. Dia memulai karier penelitiannya pada tahun 1974 ketika dia memimpin sebuah studi sistematik mengenai cara-cara perempuan dilukiskan dalam kartun.

Kramarae menemukan bahwa perempuan dalam kartun biasanya dilukiskan sebagai emosional, apologetik (peminta maaf/penyesal), dan plin-plan sedangkan pernyataan yang sederhana dan kuat disuarakan oleh laki-laki.

Teori ini telah difasihkan terutama sebagai teori feminis, dengan perempuan sebagai kelompok yang dibungkam, tetapi bisa juga diterapkan pada kelompok budaya terpinggirkan lainnya. Sebagaimana dijelaskan Orbe (1998), “Di dalam masyarakat yang memelihara hubungan kekuasaan yang asimetris, kerangka kelompok yang dibungkam berada.” Dalam lingkup komunikasi, teori ini termasuk konteks kultural yang mengkaji gender dan komunikasi dan salah satu dari teori kritis.

Bahasa sebagai bagian dari budaya tidak menggunakan semua pembicara secara sama, karena tidak semua pembicara berkontribusi pada cara formulasi yang sama. Perempuan (dan anggota kelompok subordinat lainnya) tidak bebas atau tidak semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan dan dimana mereka menginginkan, karena kata-kata dan norma yang mereka gunakan telah diformulasi oleh kelompok laki-laki yang dominan. (Mulyana, Dedy: 1989).

Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan kalangan perempuan dipotong dan pemikiran perempuan juga didevaluasi (diturunkan nilainya) dalam masyarakat kita. Ketika perempuan mencoba untuk mengatasi ketidakadilan ini, kontrol komunikasi yang maskulin menempatkan mereka pada kerugian yang sangat besar. Bahasa yang dibuat laki-laki menjadi alat dalam mendefinisikan, menurunkan dan meniadakan keberadaan perempuan, sehingga perempuan pun menjadi kelompok yang dibungkam.

A. Dakwah Antar Budaya

Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188).

Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189).

Dakwah antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses Dakwah antar budaya. Dakwah antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku – pelaku subyek dan objek dakwah, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses hubungan individu – individu atau kelompok – kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.

Dakwah dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku dakwah, dan pada gilirannya dakwah pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘dakwah adalah budaya’ dan ‘budaya adalah dakwah’. Pada satu sisi, dakwah merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma – norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma – norma (dakwah) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

B. Hubungan Timbal Balik dan Tak Terpisahkan Antara Dakwah dan Kebudayaan

Unsur pokok yang mendasari proses Dakwah antar budaya ialah konsep – konsep tentang “Kebudayaan” dan “Dakwah”. Hal ini pun digarisbawahi oleh Sarbaugh (1979) dengan pendapatnya bahwa pengertian tentang Dakwah antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep – konsep Dakwah dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, menurut Serbaugh, apabila disadari bahwa:

Pola-pola Dakwah yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu.

Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana – sarana Dakwah.

Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA di dalam Komunikasi Antar Budaya (2002), menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara Dakwah dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan Dakwah, sedangkan Dakwah memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.”

Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas Dakwah para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara bersama – sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara Dakwah dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat:

Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai – nilai, aturan – aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan – hubungan, organisasi – organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa Dakwah tidak mungkin untuk mewariskan unsur – unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Dakwah juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya – subbudaya dan kebudayaan – kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi.

Sebaliknya, pola – pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu – individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara – cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.

C. Peran Dakwah Antar Budaya dalam Integrasi Nasional

Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu :

1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan Dakwah sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai – nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu – isu yang dianggap mengancam eksistensinya.

2. Kurang maksimalnya media Dakwah dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi.

3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.

4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.

Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran Dakwah antar budaya dalam terwujudnya integrasi nasional, yakni dapat dilakukan dengan :

1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.

2. Peningkatan peran media Dakwah, terutama untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik – teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.

3. Strategi Dakwah dengan pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual dan spiritual untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, taat kepada Yang Maha Kuasa, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dan sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.

D. Masalah Budaya Dakwah Nasional dan Global

Dengan masuknya Indonesia pada era penduniaan (gobalisasi), maka tidak ada satu pun aspek kehidupan bangsa yang tidak terpengaruh, termasuk sistem informasi dan Dakwah yang ada. Pertanyaan yang timbul ialah bagaimana kita mengembangkan budaya Dakwah nasional ditengah – tengahnya derasnya pengaruh nilai – nilai Dakwah modern, seperti horisontal (tidak top down), dialogis demokratis, egaliter dan lain sebagainya. Di sisi lain kita juga menyadari berbagai “keterbatasan” yang ada pada masyarakat, baik keterbatasan karena rendahnya tingkat pendidikan, maupun karena faktor-faktor budaya yang ada. Terlebih saat pluralisme bangsa ini pun masih rawan akan terjadinya disentegrasi nasional. Maka, disadari bahwa keberlangsungan budaya Dakwah modern tersebut (sampai batas tertentu) memerlukan “kesiapan” masyarakat, baik yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pendidikan maupun kesiapan mental dan spiritual. Di sinilah, peran Dakwah antar budaya harus benar – benar dipergunakan dengan sebaik – baiknya. Dengan demikian persoalannya adalah bukan masalah setuju atau tidak setujunya kita terhadap berbagai nilai budaya tersebut, namun bagaimana menyiapkan masyarakat agar kondusif bagi diterimanya berbagai nilai budaya Dakwah modern.

Dalam rangka menyiapkan masyarakat tersebut, pendidikan sebagai wahana pembudayaan sebagaimana dikemukakan diatas memegang peranan penting. Oleh karena pengertian pendidikan juga meliputi pendidikan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, maka diperlukan juga upaya – upaya nyata untuk itu di kedua bahwa pendidikan tersebut, baik melalui proses pembiasaan, peneladanan, maupun pelembagaan. Persoalan lain yang perlu diantisipasi lagi adalah yang menyangkut formulasi “budaya Dakwah nasional” dihadapkan pada “budaya Dakwah global”, yang salah satunya mengandung tata nilai budaya modern di atas. Dengan ungkapan lain, kita haruslah dapat mengembangkan budaya Dakwah nasional yang berdasarkan pada nilai – nilai budaya bangsa, termasuk nilai dasar Pancasila dan UUD 1945, di tengah pergaulan dunia dengan budaya komunikasi globalnya.

BAB III

PENUTUP

Pada prinsipnya, di pembahasan kali ini, dakwah merupakan istilah yang disamakan dengan komunikasi. Sehingga akan mudah bisa dipahami apabila kita menyamakan arti dakwah dengan komunikasi. Di berbagai sumber menegaskan bahwa inti dari dakwah adalah komunikasi.

Peran Dakwah antar budaya dalam integrasi nasional dan Tujuan untuk mengetahui peran Dakwah antar budaya dalam integrasi nasional akan tampak pada perbedaan kebudayaan dan gaya – gaya komunikasi, yang mana perbedaan kebudayaan dan gaya – gaya komunikasi tersebut berpotensi untuk menimbulkan masalah – masalah dalam Dakwah antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran Dakwah antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalahsekaligus Al – Qur’am yang menjadi sumber dari segala sumber hukum bagi umat islam.

Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran Dakwah antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

“Komunikasi Budaya Teori Komunikasi Budaya”. www.kuliahkomunikasi.com. Diakses pada Kamis 26 Desember 2008.

Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo. Jakarta

Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Mulyana. Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 1989. Komunikasi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Mulyana. Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 1998. Komunikasi Organisasi ”Strategi Meningkatkan Motivasi Organisasi”. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Mulyana. Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi ”Suatu Pengantar”. Remaja Rosdakarya. Bandung.

McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa n”Suatu Pengantar”. Erlangga. Jakarta

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images