MALAM 1 SYURO = Budaya atau Ajaran

15.18

Dalam sejarah Islam, Muharam memiliki tradisi panjang sebagai sebagai salah satu bulan suci. Ada banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini, di antaranya: Dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, pemindahan arah kiblat dari Jerussalem ke Mekah pada 16 Muharam, dan terbunuhnya cucu kesayangan Rasulullah, Imam Husein bin Ali di Karbala pada tahun 81 H/680 M. Kasus terakhir ini menimbulkan duka mendalam bagi penganut Syiah. Terbunuhnya Imam Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyyah pada bulan Muharam, melahirkan sebuah kepercayaan baru dikalangan Syiah, yang menganggap Muharam sebagai bulan kesedihan dan bulan sial.
Dalam perkembangan selanjutnya, penganut Syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi Karbala, berupa majelis-majelis ratapan yang berpuncak pada 10 Muharam (10 Asyura), tepat di hari wafatnya Imam Husein. Entah mengapa keyakinan seperti ini kemudian berimbas pula pada sebagian penganut Sunni termasuk di Indonesia yang menganggap bulan Muharam adalah bulan keramat yang sekaligus bulan kesialan, sehingga banyak melahirkan praktik-praktik khurafat dan bid'ah.

Dalam Serat Widya Pradana (karangan R. Ng. Ranggawarsita) dikatakan bahwa untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa, maka bertepatan dengan tahun 931 H atau 1400 tahun Saka, atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Caranya adalah menggabungkan hari tujuh Hijriyah dengan hari kelima (tepatnya hari lima atau pancawara). Sebelum ada hari tujuh Islam (Itsnain, Tsulatsa', Arba'a, Khamis, Jum'ah, Sabt dan Ahad) ada hari tujuh lama (Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Tumpak dan Radite).
Adapun pancawara tetap dipakai tidak diganti. Pancawara itu meliputi: legi (manis), pahing (merah), pon (kuning), wage (hitam), dan kliwon (asih atau kasih). Karena perangkapan atau penggabungan ini (hari tujuh Islam dengan pancawara), maka dikenallah hitungan selapan (35 hari) dalam setiap bulan. Penggabungan kalender tersebut, untuk sebagian orang, diduga sebagai salah satu strategi untuk merukunkan dua varian, yang menurut Clifford Geertz disebut Islam santri dan Islam abangan.
Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin menyatukan Pulau Jawa. Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Harnyokrokusumo ingin merangkul dua varian tersebut. Pada setiap hari Jumat legi, Sultan Agung menjadikan dina paseban (hari pertemuan resmi) sebagai pelaporan pemerintahan daerah-daerah kepada keraton secara resmi. Sementara itu, untuk daerah Timur, pada hari yang sama (Jumat legi) dilakukan juga laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu) ke makam Ngampel dan Giri.

Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul. Selain itu terdapat pula Upacara Labuhan yang merupakan rangkaian dari Tradisi 1 Sura. Dimana pagi hari sesudah malam 1 Sura maka diadakan Upacara labuhan yaitu dengan mempersembahkan pakaian wanita , alat-alat rias, sirih, bunga dan lain-lain ke laut selatan , sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Ratu Kidul Penguasa laut Selatan .
Berbagai pakaian bekas yang pernah dipergunakan oleh Sri Sultan, potongan rambut serta potongan kuku beliau ditanam di dalam areal tanah sengker (suatu areal tanah yang dianggap keramat di daerah Parangkusumo). Sehingga bisa dikatakan bahwa kedua upacara ini yaitu tradisi malam 1 Suro dan Upacara Labuhan merupakan 2 hal yang saling berkaitan di dalam tradisi Kraton Yogyakarta.

Sumber :http://pemda-diy.go.id/berita
Pada masa pemerintahannya, Panembahan Senopati terlibat percintaan dengan Kanjeng Ratu Kidul. Penguasa Laut Selatan itu bersedia membantu segala kesulitan Panembahan Senopati, dan Panembahan diminta untuk menyelenggarakan upacara persembahan sesaji kepada Kanjeng Ratu Kidul di pesisir selatan. Hal ini berdasarkan cerita turun-temurun serta kepercayaan masyarakat setempat. Tingalan Jumenengan Dalem Nata Labuhan Alit merupakan rangkaian upacara untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Nata (penobatan Sultan). Upacara yang dimulai di Pantai Parang Kusumo ini berakhir serentak di Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Upacara Labuhan yang dimulai oleh Panembahan Senopati merupakan wujud syukur atas kelangsungan Kerajaan Mataram, juga untuk mendoakan keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta. Labuhan berasal dari kata labuh yang bermakna melarung. Labuhan Alit yang biasanya berlangsung dua kali setahun, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB X), diubah menjadi setahun sekali, yaitu hanya pada hari penobatan Sultan. Sedangkan Labuhan Ageng dilangsungkan delapan tahun sekali. Tempat dan Makna Yang Tersirat Upacara Labuhan Ageng (Labuhan Besar) dilaksanakan berdasarkan tahun Dal, jadi hanya dilakukan sekali dalam satu windu. Benda-benda yang dilabuh dibagi empat bagian untuk dilabuh di Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu dan Dlepih Kahyangan.

Empat lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa tempat-tempat tersebut dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram (terutama Panembahan) untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus. Sedangkan Labuhan Alit (Labuhan Kecil), berlangsung setiap tahun. Upacara ini biasanya tidak menyertakan Dlepih Kahyangan sebagai tempat Labuhan. Menurut kepercayaan, apabila tradisi ini dihentikan maka rakyat dan Kerajaan Mataram akan tertimpa murka Ratu Kidul. Pasukan jin dan makhluk halus akan diutus untuk menyebarkan penyakit juga berbagai macam musibah. Dua tempat utama, yakni Pantai Kidul dan Gunung Merapi, sesungguhnya merupakan lambang keseimbangan harmoni antara manusia dan alam. Laut Selatan sebagai unsur air dan Gunung Merapi sebagai unsur api. Sebuah kearifan untuk menselaraskan manusia dan tempat tinggalnya. Prosesi dan Benda Labuhan Labuhan dimulai dengan upacara pasrah penampi (penyerahan sesaji) dari Parentah Ageng Kraton Ngayogyakarta kepada Bupati Bantul di Pendapa Kecamatan Kretek. Setelah itu, uba rampe dibawa ke Pendapa Parangkusumo untuk diwilang (diperiksa) sebelum diserahkan kepada juru kunci Parangkusumo, sekaligus didoakan. Acara doa berlangsung di Cepuri Parangkusumo. Di tengah areal Cepuri terdapat batu yang menjadi tempat pertemuan Panembahan dan Ratu Kidul Setelah didoakan, salah satu uba rampe berisi lorodan ageman (pakaian bekas Sultan), kenaka (potongan kuku) serta rikma (potongan rambut) Sultan selama setahun, dikubur di sudut Cepuri sambil menabur bunga dan membakar dupa. Sisa uba rampe berisi sembilan kain dengan corak dan warna khusus, uang tindih lima ratus (sebelumnya hanya seratus), minyak koyoh, ratus (dupa), serta layon sekar (sejumlah bunga yang telah layu dan kering, bekas sesaji pusaka-pusaka Kraton selama setahun), juga termasuk jajanan pasar; dibawa di atas tiga tandu melewati jalan yang dibatasi tiang-tiang di kedua sisi hingga bibir pantai. Uba rampe kemudian dilarung. Pada saat sesaji yang dilarung ini kembali ke pantai terbawa ombak, Peserta yang hadirpun berebut isi sesaji.
YogYES yang sempat menyaksikan atraksi tersebut, menganggap hal ini adalah salah satu daya tarik dari upacara itu sendiri. Kepercayaan setempat, benda-benda tersebut dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan. Selanjutnya para abdi dalem menuju Gunung Merapi. Sebelum labuhan, uba rampe wilujengan yang berupa sembilan tumpeng dan satu gunungan uluwetu, dikirab dari rumah Dukuh Pelemsari, menuju rumah juru kunci Merapi. Sesaji ini kemudian didoakan dan diinapkan di pendopo rumahnya. Prosesi labuhan ini juga menampilkan fragmen tari dengan lakon Wahyaning Mongsokolo Labuhan, kesenian jathilan, uyon-uyon dan karawitan.

Pada malam harinya akan diadakan tirakatan dan pagelaran wayang kulit Semar Bangun Kahyangan. Pada dini hari, sesaji diberangkatkan ke Pos II lereng selatan Merapi untuk dilabuh. Labuhan Merapi dilakukan bersamaan dengan Labuhan Gunung Lawu di Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk mengikuti acara Labuhan, tanggalnya bisa dilihat melalui kalender wisata yang kami update setiap tahunnya. Jika sekali waktu menyempatkan untuk mengikuti prosesi ini, selain mendapatkan pengalaman spiritual yang menarik, kita juga akan lebih sadar bahwa eksistensi antara manusia dan alam tidaklah dapat dipisahkan. Sebuah fusi budaya dan agama yang menggetarkan jiwa.

(YogYES.COM)
Trilogi - 2 (Misteri Gunung Merapi)
Disebutkan bahwa bagian dari Kraton mahluk halus Merapi yang dianggap angker adalah Gunung Wutoh yang digunakan sebagai pintu gerbang utama Kraton Merapi. Gunung Wutoh dijaga oleh mahkluk halus yaitu “Nyai Gadung Melati”yang bertugas melindungi linkungan di daerah gunungnya termasuk tanaman serta hewan. Selain tempat yang berhubungan langsung dengan Kraton Merapi ada juga tempat lain yang dianggap angker. Daerah sekitar makam Sjech Djumadil Qubro merupakan tempat angker karena makamnya adalah makam untuk nenek moyang penduduk dan itu harus dihormati. Selanjutnya tempat-tempat lain seperti di hutan, sumber air, petilasan, sungai dan jurang juga dianggap angker. Beberapa hutan yang dianggap angker yaitu: “Hutan Patuk Alap-alap” dimana tempat tersebut digunakan untuk tempat penggembalaan ternak milik Kraton Merapi , “Hutan Gamelan dan Bingungan” serta “Hutan Pijen dadn Blumbang”. Bukit Turgo, Plawangan, Telaga putri, Muncar, Goa Jepang, Umbul Temanten, Bebeng, Ringin Putih dan Watu Gajah. Beberapa jenis binatang keramat tinggal di hutan sekeliling Gunung Merapi dimiliki oleh Eyang Merapi. Binatang hutan, terutama macan putih yang tinggal di hutan Blumbang, pantang di tangkap atau di bunuh. Selanjautnya kuda yang tinggal di hutan Patuk Alap-alap, di sekitar Gunung Wutoh, dan diantara Gunung Selokopo Ngisor dan Gunung Gajah Mungkur adalah dianggap/dipakai oleh rakyat Kraton Mahluk Halus Merapi sebagai binatang tunggangan dan penarik kereta. Di puncak Merapi ada sebuah Keraton yang mirip dengan keraton Mataram, sehingga disini ada organisasi sendiri yang mengatur hirarki pemerintahan dengan segala atribut dan aktivitasnya. Keraton Merapi itu menurut kepercayaan masyarakat setempat diperintah oleh kakak beradik yaitu Empu Rama dan Empu Permadi. Seperti halnya pemerintahan sebagai sebagai Kepala Negara (Empu Rama dan Empu Permadi) melimpahkan kekuasaannya kepada Kyai Sapu Jagad yang bertugas mengatur keadaan alam Gunung Merapi. Berikutnya ada juga Nyai Gadung Melati, tokoh ini bertugas memelihara kehijauan tanaman Merapi. Ada Kartadimeja yang bertugas memelihara ternak keraton dan sebagai komando pasukan makhluk halus. Ia merupakan tokoh yang paling terkenal dan disukai penduduk karena acapkali memberi tahu kapan Merapi akan meletus dan apa yang harus dilakukan penduduk untuk menyelamatkan diri. Tokoh berikutnya Kyai Petruk yang dikenal sebagai salah satu prajurit Merapi. Upacara Labuhan Begitu besarnya jasa-jasa yang telah diberikan oleh tokoh-tokoh penghuni Gunung Merapi, maka sebagai wujud kecintaan mereka dan terima kasih terhadap Gunung Merapi masyarakat di sekitar Gunung Merapi memberikan suatu upeti yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan. Sudah menjadi tradisi keagamaan orang jawa yaitu dengan mengadakan Selamatan atau Wilujengan, dengan melakukan upacara keagamaan dan tindakan keramat. Kediaman Mbah Maridjan Upacara Selamatan Labuhan diadakan secara rutin setiap tahun pada tanggal kelahiran Sri Sultan Hamengku Buwono X yakni tanggal 30 Rajab. Upacara dipusatkan di dusun Kinahrejo desa Umbulharjo. Disinilah tinggal sosok Mbah Marijan sebagai juru kunci Gunung Merapi yang sering bertugas sebagai pemimpin upacara labuhan. Gunung Merapi dan Mbah Marijan adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Keberadaan lelaki tua Mbah Marijan dan kawan-kawannya itulah manusia lebih, mau membuka mata dan telinga batinnya untuk melihat apa yang tidak kasad mata di sekitar Gunung Merapi. Mbah Maridjan Di Selo setiap tahun baru jawa 1 Suro di adakan upacara Sedekah Gunung, dengan harapan masyarakat menjadi aman, tentram dan sejahtera, dengan panen yang melimpah. Upacara ini disertai dengan menanam kepala kerbau di puncak Merapi atau di Pasar Bubrah. Trilogi - 1 (Alkisah...) Sampai saat ini, kemungkinan apakah Gunung Merapi akan meletus atau tidak masih menjadi tanda tanya. Baik bagi kalangan awam maupun para ahli pergunungan. Semua berpendapat. Semua melihat gejala alam ini sebagai sebuah peristiwa yang istimewa. Demikian juga dengan bapak Presiden kita, yang rela menjadi seperti Pramuka lagi; tidur di tenda komando Depsos! ^^ Gunung Merapi memang istimewa buat kota Jogja. Istimewa secara wujud nyata maupun secara "nyata". Alkisah... ...Gunung Merapi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan Keraton Yogyakarta. Kedua tempat itu tepat membuat garis lurus di bagian utara dan selatan Yogyakarta. Diantara keduanya terdapat Tugu Kota Yogyakarta yang menjadi salah satu landmark kota Gudeg itu. Poros itu lurus dari utara ke selatan. Memang, Kota Yogyakarta dikenal memiliki tata kota yang sangat arah mata angin. Kita kemana-mana selalu berpatokan utara-selatan-barat-daya. Dijamin tidak akan mudah tersesat! Beda dengan di Jakarta. Jika buat para pemula di Jakarta bertanya dengan patokan arah mata angin, maka mungkin baru lebaran tahun depan bisa ketemu tempat yang dicarinya. :p Untuk poros tersebut, di bagian selatan kota terdapatlah pantai yang eksotis dan penuh misteri; Pantai Parangtritis. Jika salah satunya mengalami suatu masalah, maka Kota Yogyakarta akan terkenan imbasnya juga. Maka, untuk menjaga agar semuanya baik-baik saja, diadakanlah upacara labuhan. Ingat, kan, dulu soal Sayur Lodeh? ^^ Ada cerita lain. Jika ada yang sempat atau mau plesir ke daerah keraton di wilayah Tamansari, maka biasanya akan dikisahkan oleh sang guide tentang makna poros itu tadi. Bahwa poros itu dapat digambarkan sebagai salah satu bagian dari "tubuh" Kota Yogyakarta. Tubuh di sini adalah tubuh seorang laki-laki. Dikisahkan kalau keraton itu Kepala dari Kota Yogyakarta. Kemudian tangan dari tubuh tadi adalah Jalan KHA Dahlan sebagai Tangan kiri dan Jalan Pangeran Senopati sebagai Tangan kanannya. Bagian dari Badan tubuh tadi adalah jalan yang sangat populer; Jalan Malioboro. Kemudian bagian Kaki kiri ada di Jalan Diponegoro dan Kaki kanannya terletak di Jalan Sudirman. Jadi, Tugu Kota Yogyakarta digambarkan sebagai apa semua paham, kan? ^^v LABUHAN LAUT SAPTOSARI Nama Upacara Adat LABUHAN LAUT SAPTOSARI Sekilas Tentang Upacara ini disebut juga sedekah laut diadopsi dari upacara labuhan yang dilaksanakan di pantai Baron. Sebelum upacara labuhan masyarakat telah mempunyai tradisi upacara yang disebut "GOLONGAN", dilaksanakan sebagai rasa syukur dan berharap agar teri/impun datang bergolong-golong dan menepi. Istilah Golong artinya satu, dengan bentuk segagolong yaitu bulat yang divisualisasikan sebagai persembahan dalam upacara golongan. Tradisi yang dilakukan masyarakat/keluarga membawa nasi golong untuk sesaji di watu Sajen selanjutnya dikendurikan dan dimakan bersama. Lokasi Pantai Saptosari, Desa Saptosari, Kecematan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul.

Pelaksana Kegiatan Warga setempat Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan upacara labuhan ini pada malam 1 Sura. Maksud Kegiatan Pertama Kali Dilaksanakan Upacara sedekah laut Saptosari bertujuan memohon keselamatan kepada TuhanYang Maha Esa dan melakukan persembahan-persembahan kepada penguasa lautan supaya para nelayan selamat mencari ikan dan memperoleh ikan banyak. Pemimpin Ritual Juru Kunci Laut Selatan Jalannya Prosesi Upacara Setelah upacara labuhan dimulai dengan terlebih dahulu dibacakan doadoa oleh juru kunci, setelah selesai membacakan doa semua menuju laut bersama-sama dengan perlengkapan sesaji dan diiringi gendhing Kebogiro.
Iringiringan yang menuju ke laut adalah gunugan yang berisi perlengkapan sesaji dibawa ke tengah laut dengan satu perahu yang dikawal empat perahu, dua perahu disebelah kanan dan dua perahu disebelah kiri, setelah kurang lebih satu kilo gunungan dilepas oleh juru kunci yang didahului dengan doa mohon keselamatan bagi nelayan dan memohon agar memperoleh ikan yang banyak.

Pengikut Upacara Warga setempat Sesaji/Ubo Rampe Rangkaian sesaji upacara :Sesaji upacara labuhan ada pitung jodho diperuntukkan :
a. Satu jodho untuk nelayan.
b. Satu jodho untuk tempat wayangan.
c. Satu jodho untuk tmpat urang.
d. Satu jodho untuk jaring dan perahu.
e. Satu Jodho untuk alat-alat wayang.
f. Satu Jodho untuk tempat upacara.
g. Satu Jodho untuk penonton wayang.

Jenis-jenis sesaji dan malmanya :
a. Ayam jantan : simbol bahwa nelayan adalahlaki-laki yang sangat berani dan tidak takut mati untuk
mengarungi samudera.
b. Gunungan bentuk perahu : simbol penghidupan nelayan.
c. Jenang-jenangan : jenang abang simbo) biyung,jenang putih simbol bapak.
d.Tanaman tebu : simbol untuk ngayomi masyarakat.
e. Lauk pauk dari kambing : simbol korban di dalam mencari ikan yang ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul.
f. Kemben sutera ungu : simbd busana Kanjeng Ratu Kidul untuk diberikan kepada prajuritnya supaya tidak
mengganggu nelayan. g. Buah-buahan : ditujukan kepada penunggu pesisir supaya tidak mengganggu
nelayan.
Nama Upacara Adat LABUHAN MERAPI (LABUHAN ALIT KRATON NGAYOGJAKARTA HADININGRAT)
Sekilas Tentang Dinamakan labuhan merapi karena upacara ini berkaitan dengan melabuh perlengkapan ke Gunung Merapi oleh pihak Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat. Lokasi Kendhit Merapi, Gunung Merapi, Kabupaten Sleman Pelaksana Kegiatan Hajat Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono yang memerintah Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat. Waktu Pelaksanaan Setahun sekali pada tanggal 29 Rajab Pencetus Upacara Adat Raja Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat Maksud Kegiatan Pertama Kali Dilaksanakan Labuhan di Gunung Merapi ditujukan kepada :- Empu Romo. - Empu Ramadi. - Gusti Panembahan Prabu jagad (Sapu jagad). - Krincing Wesi. - Branjang Kawat. - Sapu angin. - Mbok Ageng Lambang Sari. - Mbok Nyai Gadhung Mlalti. - Kyai Megantoro. Agar selalu ikut menjaga keselamatan, keamanan dan ketentraman wilayah Ngayogjakarta Hadiningrat. Pemimpin Ritual Juru Kunci Gunung Merapi Sesaji/Ubo Rampe Perlengkapan upacara labuhan Merapi adalah kain cangkring, kawung kemplong, semekan bangun tulak gadhing, kampuh poleng, destar doro muluk, peningset udaraga, rokok, wangen, kemenyan, ratus, minyak, konyoh dan 2 apem. Keterangan Pendukung Benda-Benda Yang Dilabuh : - Sinjang Limar 1 lembar- Sinjang Camgkring 1 lembar- Sumekan Bangun Tulak 1 lembar- Sumekan Gadhung 1 lembar- Destar (kain penutup kepala) 1 lembar- Peningset (ikat pinggang) udaraga 1 lembar- Peningset jingga 1 lembar- Kambil watangan 1 lembar- Kampuh poleng 1 lembar- Ses (rokok) wangen 1 contong- Sela (kemenyan) ratus dan konyoh 1 kantong- Yatra (uang) tindih Rp. 8,33 1 amplop- Pelana kuda (khusus untuk tahun dal) 1 bushSetelah pembacaan doa oleh juru kunci maka selesailah upacara labuhan itu Prosesi Labuhan Alit Kraton Yogya di Parangkusumo — Yan Arief • August 15th, 2007 Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat melaksanakan tradisi Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Kawasan Parangtiris, Selasa (14/8/2007), bertepatan dengan hari Selasa Pon, tanggal 30 Rejeb, tahun Ehe 1940 dalam penanggalan Jawa. Menurut kepercayaan Kraton Yogya, tradisi sebagai wujud persembahan dari Sri Sultan HB X kepada Ratu Kidul, penguasa pantai selatan. Prosesi Labuhan Alit diawali di Pendopo Kecamatan Kretek, Bantul yang berjarak sekitar 3 km dari pantai. KRT Sumowijoyo abdi dalem Kraton Kasultanan Yogyakarta sebagai utusan Sri Sultan Sultan HB X menyerahkan uba rampe labuhan kepada perwakilan Kabupaten Bantul. Uba rampe atau barang-barang yang digunakan dalam ritual adalah milik Sri Sultan HB X. Berupa baju, kain, uang, minyak, uang dan potongan rambut Sultan, dimuat dalam jodhang (usungan). Usai upacara di Kecamatan Kretek, ubo rampe labuhan diangkut menggunakan kendaraan diikuti seluruh rombongan menuju Cepuri, Parangkusomo. Kemudian ubo rampe disemayamkan sejenak di pendopo Parangkusumo, lalu dimuat kembali di atas 3 usungan dari bambu. Setelah itu, ubo rampe dibawa menuju Cepuri diikuti seluruh kerabat dan abdi dalem Kraton Yogya. Cepuri adalah tempat yang dikeramatkan oleh Kraton, dipercaya sebagai tempat pertemuan Sultan dengan Ratu Laut Selatan. Tempat keramat itu berukuran sekitar 15 x 15 m yang dipagari tembok, di tengah terdapat 2 buah batu karang hitam. Selanjutnya juru kunci Cepuri RP Surakso Tarwono mempimpin ritual doa menghadap 2 batu karang. Sedangkan ubo rampe diletakan di sebelah barat batu itu. Beberapa kerabat dan abdi dalem wanita menaburi batu karang itu dengan bunga. Nah, usai ritual di Cepuri, ubo rampe selanjutnya dibawa menuju tepi pantai. Ratusan pengunjung terlihat diantaranya beberapa wisatawan asing yang ingin mengabadikan ritual tradisional ini telah menanti di pesisir Pantai Parangkusumo. Bagi pengunjung lokal, mereka mencoba mencari keberutungan dengan ngalap berkah labuhan, dipercaya bila mendapatkan ubo rampe bisa mendatangkan keberuntungan, sebagai penglaris atau hasil panen sawahnya bisa melimpah. Tergantung kepercayaan masing-masing, boleh pecaya atau tidak, silahkan. Di tepi pantai, usungan berisi ubo rampe diserahkan kepada tim SAR Parangtritis yang selanjutnya dibawa ke tengah ombak yang menerjang pantai. Pengunjung pun segera berhamburan menyongsong ombak demi ngalap berkah, mendapatkan benda-benda kagungan dalem (milik Sultan). Untuk menghindari hal-hal yang membahayakan pengunjung, Polis Berkuda menghalau pengunjung bila mencapai batas pantai yang berbahaya. Pada hari yang sama Kraton Yogya juga menggelar Labuhan Alit di Gunung Merapi, untuk memberi persebahan kepada penguasa gunung itu. Namun, saya tak bisa menceritakan tentang labuhan di tempatnya mbah Marijan ini, karena tidak bisa mengikutinya secara langsung

http://www.dutabintaro.com/forum/viewtopic.php?id=3880

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images